Tuesday, 1 December 2015

,

Setiap orang dapat dan bebas melakukan perjalanannya sendiri. Sebagian besar di antaranya, mampu mendokumentasikan perjalanannya berupa foto maupun video. Sebagian besar, bahkan mampu bercerita secara lisan pengalaman perjalanannya kepada teman-teman terdekatnya.

Namun, tak semuanya, mungkin sebagian kecil di antara mereka yang mau dan mampu menuliskan perjalanannya. Berbagai macam alasan dikemukakan, mulai dari keterbatasan waktu, ketidaktahuan harus mulai dari mana, hingga alasan yang paling klasik: tidak bisa menulis.

Berangkat dari situasi demikian, maka Gamananta tergerak untuk kembali menggelar pelatihan singkat bagi sahabat, baik anggota Gamananta maupun bukan, untuk mau memulai menulis perjalanannya. Benar-benar menulis, menggambarkan dengan untaian kata-kata, kalimat per kalimat.

Pelatihan berupa mini workshop ini bertajuk: Travel Blogging, Show Your Journey In Words. Dalam acara ini, akan ada dua materi utama. Pertama, tentang tahap-tahap memulai blog sebagai media utama menulis perjalanan, yang akan dibawakan oleh Mohammad Lutfi Hidayat, travel blogger di langkahkecil.com. Kedua, tentang bagaimana membuat cerita perjalanan kalian bermakna yang akan disampaikan oleh Rifqy Faiza Rahman, travel blogger di papanpelangi.co. Di penghujung acara, rencananya akan digelar praktek langsung menulis. Peserta ditantang untuk menulis cerita dalam jangka waktu yang ditentukan.

Mini workshop ini rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 10 Januari 2016. Bertempat di Rezzen Bakery & Coffee House, Merjosari, Kota Malang.

Dengan biaya partisipasi sebesar Rp 25.000, sahabat sudah mendapatkan fasilitas berupa snack dan minum, serta mini wokshop kit. Kuota terbatas, lho! Jadi buruan daftar supaya segera memulai untuk menulis pengalaman perjalanan kalian. Batas akhir pendaftaran peserta mini wokshop adalah tanggal 31 Desember 2015. Dengan menghubungi kontak yang tercantum berikut ini:

Rendra: 0857-3014-0597 (Whatsapp) / 32F7AA63 (BBM)
Oki: 0857-1240-0989 (Whatsapp) / 7E6FF742 (BBM)

Ditunggu keikutsertaannya, ya, Ji! Ro! Lu! Budal!

Monday, 30 November 2015

,

Hari ini, adalah hari pertama di bulan Desember. Di Malang dan sekitarnya, hujan sudah memulai musimnya. Dan di gunung-gunung di sekitarnya, sudah mulai jarang terdengar kabar kemunculan titik api (kebakaran). Di awal musim penghujan, merupakan waktu yang tepat bagi ekosistem kembali menghijau.

Setelah cukup lama libur mendaki gunung, kini saatnya Gamananta kembali menggelar open trip pendakian bersama. Gunung mana kali ini yang menjadi tujuan? Ya, ke Pegunungan Putri Tidur-lah Gamananta akan kembali berkunjung. Sejak komunitas ini berdiri, terhitung sudah sekitar lima kali Gamananta mendaki pegunungan ini.

Open Trip pendakian Gunung Butak (yang termasuk ke dalam gugusan Pegunungan Putri Tidur) untuk kali keenam akan diselenggarakan selama 2 hari 1 malam pada tanggal 19-20 Desember 2015.

Karena kuota untuk peserta pendakian terbatas, maka sahabat GAMAers diharapkan segera mendaftarkan diri ke kontak yang tersedia, yaitu kepada saudara Steven Rendra di nomor: 0857-3014-0597. Penasaran bagaimana rupa rimba Pegunungan Putri Tidur? GAMAers bisa coba mampir ke tulisan berikut.

Bagaimana? Tertarik? Buruan daftar ya!
Ji! Ro! Lu! Budal!

Thursday, 22 October 2015

,
 Pemotongan tumpeng sebagai simbolis oleh Jauhar Syauqi dan diterima oleh Anggrek

Semua bermula pada 13-16 Oktober 2012, kala lima orang: Rifqy, Muchlis, Kurniawan, Uki, dan Anggrek mendaki Gunung Semeru. Cita-cita ingin berdiri di puncak Mahameru, namun harus tertahan akibat keterbatasan fisik. Tiga malam pun dihabiskan di Ranu Kumbolo, 2.400 meter dari permukaan laut (mdpl).

Dan tujuan utama dari pendakian ini sebenarnya pada 14 Oktober 2012. Gamananta (waktu itu masih bernama D'Projecture) dideklarasikan sebagai komunitas.

Tak terasa, kini komunitas yang mengusung semangat dan orientasi konservasi dalam setiap perjalanannya ini sudah berusia 3 tahun. Usia yang masih prematur namun pertanda untuk semakin berkembang.

Di bawah kepengurusan baru yang dipimpin oleh Jauhar Syauqi (Oki) sebagai Chief Executive Officer (setara ketua), Gamananta merayakan ulang tahunnya secara sederhana. Yakni tasyakuran dilanjut makan bersama di rumah salah seorang anggota Gamananta, Fia, yang bertempat di Wagir, Malang.

Konsep acara kali ini serupa saat perayaan anniversary pertama di rumah anggota Gamananta, Tomi. Tasyakuran sederhana dilanjut pemotongan tumpeng dan makan bersama. Bedanya, kali ini menu yang disajikan adalah hasil dari masak sendiri, tanpa memesan katering. Namun tidak mengurangi kebersamaan dan kekhidmatan saat berdoa untuk kemajuan komunitas.

 Urun pendapat dan dukungan demi kemajuan komunitas

Tasyakuran kali ini dihadiri 11 anggota Gamananta yang luang saat itu. CEO Gamananta membuka acara, dilanjutkan doa bersama oleh Rifqy, lalu dilakukan pemotongan tumpeng sebagai simbolis dan diakhiri makan bersama.

Besar harapan dari masing-masing anggota untuk perkembangan Gamananta. Utamanya soal regenerasi agar ada penerus terbaik bagi kepengurusan saat ini. Juga, dukungan untuk merancang program-program komunitas yang bermanfaat dan tetap sesuai pada visi dan misi komunitas sesuai tercantum dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT) komunitas.

Selamat ulang tahun ke-3, Gamananta! Ji! Ro! Lu! Budal!

(Ditulis oleh: Rifqy Faiza Rahman)

Monday, 14 September 2015

,

Dalam rangka untuk semakin mempererat sesama anggota dan eksistensi komunitas, Gamananta menggelar acara bertajuk Camping Ceria pada tanggal 12-13 September 2015. Lokasinya bertempat di Bumi Perkemahan Bedengan, Dau, Kabupaten Malang.

Bedengan merupakan bumi perkemahan yang dikelola oleh Perhutani dibantu warga setempat. Fasilitas yang cukup lengkap, termasuk pasokan listrik, kamar mandi, dan warung membuat Gamananta memilih Bedengan sebagai lokasi acara utama.

Dimulai pada tanggal 12 September 2015, peserta bersama-sama mendirikan tenda dome sebanyak tiga buah. Lalu menjelang malam, sebagian peserta menyiapkan bahan masakan untuk menu makan malam. Selama proses memasak, sebagian peserta yang lain bermain musik dengan gitar yang dibawa berkemah.

Selain memasak, peserta juga membuat api unggun untuk memberikan kehangatan dan menjadi media masak untuk ayam bakar dan sate sosis. Kedua menu ini dibawa oleh Fita Kartika Sari, yang saat itu datang bersama Caca, putri semata wayangnya. Sebagai pelengkap menu yang disajikan, pengurus Gamananta juga menggelar sesi kopi darat (kopdar) untuk membahas program Gamananta serta ajang berbagi pengalaman perjalanan masing-masing peserta.

Sharing session

Pada hari itu, tidak hanya Gamananta yang menggelar acara di Bedengan. Ada sejumlah rombongan lain yang menggelar acara sejenis diklat keorganisasian, ataupun yang berkemah biasa untuk menghabiskan waktu di akhir pekan.

Cooking Competition-Trekking
Keesokan harinya, pada tanggal 13 September 2015, kegiatan senam pagi mengawali hari sebelum berlanjut ke acara utama, yaitu cooking competition. Dari peserta yang ikut, dibagi menjadi empat kelompok dengan komposisi tiga orang per kelompok. Juri kompetisi memasak ini adalah Fita Kartika Sari, anggota Gamananta yang berasal dari Gondanglegi, Malang.

Masing-masing peserta memiliki menu andalan dan keunikan masing-masing. Mereka ditantang untuk menghasilkan menu makanan dalam waktu 1,5 jam.

 Fita Kartika Sari selaku juri mencoba masakan hasil racikan peserta

Setelah waktu memasak usai, keempat menu makanan disajikan ke hadapan juri dan diberi komentar. Namun penentuan pemenang baru diumumkan setelah peserta trekking santai ke selatan Bedengan. Tepatnya ke kolam alami di sungai yang mengalir dan bersumber dari Gunung Butak-Kawi. Niat awal sebenarnya ingin menuju Coban Brues yang berjarak satu jam perjalanan, namun menurut petugas sedang kering air dan rawan longsor sehingga tidak bisa dikunjungi.

Trekking santai ini menyusuri jalan setapak di sisi barat sungai, melewati sebuah tempat pertapaan Hindu dan sekitar 20 menit perjalanan tiba di kolam yang dimaksud.

 Caca asyik bermain air ditemani kedua peserta yang lain

Meskipun matahari bersinar terik, namun peserta yang ikut trekking sebagian besar antusias bermain air dan mandi di dalam kolam yang berair jernih tersebut. Termasuk Caca, yang awalnya ragu untuk turun ke kolam, akhirnya berbasah ria setelah dirayu peserta yang lain.

Penutupan Acara
Setelah puas trekking santai dan bersih diri, akhirnya tiba di penghujung acara. Fita selaku juri mengumumkan peserta yang menjadi pemenang. Pemenang kompetisi memasak jatuh pada kelompok yang terdiri dari Rendra, Anggrek, dan Ghazy. Masing-masing dari mereka mendapatkan hadiah sebuah clothing pack dari Consina.

 Fita Kartika Sari foto bersama kelompok pemenang kompetisi memasak

CEO Gamananta, Jauhar Syauqi menyerahkan cinderamata kepada Fita Kartika Sari

Panitia juga memberikan apresiasi kepada Fita Kartika Sari yang telah berkenan menjadi juri kompetitsi memasak dalam Camping Ceria kali ini. Gamananta memberikan apresiasi berupa foto sketsa hitam putih dalam bingkai hitam, serta topi rimba dan rompi persembahan dari Bivak Outdoorshop,

Lepas Duhur, acara Camping Ceria resmi ditutup dan diakhiri dengan foto bersama. Setelah packing, peserta meninggalkan Bedengan dan pulang ke rumah masing-masing.

Artikel dan dokumentasi oleh:
Rifqy Faiza Rahman

Monday, 17 August 2015

,

Dari kopi darat (kopdar) rutin Gamananta yang biasa digelar di kafe Omah Kayu, didapatkan hasil untuk membuat proyek video komunitas. Tujuannya adalah sebagai tribute, memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.

Untuk membuat video dari sudut pandang yang berbeda, pengurus membagi dua tim dengan dua tujuan berbeda. Tim pertama akan berkemah di Pantai Bajulmati pada 15-16 Agustus 2015, sedangkan tim kedua akan mendaki Gunung Merapi melalui jalur Selo, Boyolali. Berturut-turut, penanggung jawab skenario videografi untuk tim pertama dan tim kedua adalah Rifqy Faiza Rahman dan Cahya Wahyu Pratama. Namun dalam artikel ini, akan lebih dibahas mengenai proses dokumentasi untuk tim pertama.

Hari Pertama
Tim pertama yang akan berkemah di Pantai Bajulmati, Malang ini diikuti sekitar 12 orang. Proses dokumentasi sudah dimulai sejak berkumpul di meeting point, areal parkir Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Sebagian dari peserta diwawancarai satu per satu tentang tema "Mengapa Bangga Menjadi Indonesia?". Hasil dari wawancara tersebut, diselipkan dan dikombinasikan dengan hasil rekaman video lainnya selama perjalanan.

Tim ini juga berhenti di beberapa titik untuk kebutuhan shooting, sesuai dengan skenario yang dibuat oleh penanggung jawab. Akhirnya tim baru tiba di Pantai Bajulmati sekitar pukul 17.00. Sayang, saat itu sedang mendung, sehingga momen matahari terbenam (sunset) tidak terlihat sempurna.

 Sore di Pantai Bajulmati

Agenda selanjutnya setelah mendirikan tenda di bumi perkemahan Bajulmati, sisi timur pantai, adalah menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Menu malam itu adalah ikan yang didapatkan dari belanja di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Pantai Sendang Biru. Lalu dibakar dengan adanya api unggun maupun arang yang tersedia. Sangat sederhana.

Malam itu, Pantai Bajulmati cukup ramai. Banyak rombongan wisatawan yang baru mencapai kawasan pantai saat malam.

Hari Kedua
Setelah sunset tak terlihat sempurna, di hari kedua cahaya matahari pagi cukup terlihat jelas. Kuning keemasan, sebelum akhirnya tertutup awan. Namun beranjak waktu, hari kedua di Pantai Bajulmati sangat cerah.

Di hari kedua ini, tim berbagi tugas. Sebagian menyiapkan sarapan di warung warga, sebagian masih di pantai untuk keperluan dokumentasi video.

Aksi peserta sebagai bagian dari proses dokumentasi

Proses shooting pun berakhir tepat saat waktu sarapan sudah siap. Karena tidak membawa bahan masakan untuk sarapan, tim ini memanfaatkan bahan dan peralatan masak yang telah tersedia di warung. Tentu dengan memberi imbalan secukupnya sebagai ungkapan terima kasih.

Pulang
Saat hari semakin beranjak siang, setelah sarapan dan repacking, tim beranjak meninggalkan Pantai Bajulmati.

Namun, sebelum pulang ke Kota Malang, tim menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu pantai yang berada di pesisir Jalan Lingkar Selatan (JLS) Malang. Hanya berjarak sekitar 2 km dari Bajulmati, tepatnya di Pantai Batu Bengkung.

Pantai ini termasuk baru dibuka, namun sudah mampu menyedot banyak pengunjung. Seperti saat itu, sangat banyak rombongan pengunjung yang datang ke pantai ini, baik dari Malang maupun luar kota. Mulai dari kalangan anak muda hingga keluarga.

Di sini, tim hanya singgah untuk bersantai dan menunaikan ibadah salat Duhur. Sebelum Asar, tim sudah bergerak pulang menuju kota Malang. (*)

Video lengkap dapat dilihat secara online di sini.

Artikel dan foto oleh:
Rifqy Faiza Rahman

Monday, 3 August 2015

,


April 2013 kala itu. Sejarah terukir di Gamananta. Untuk pertama kalinya, komunitas ini memiliki pemgurus tetap setelah sejak berdiri dipegang oleh ketiga pendiri. Pengurus tetap saat itu terdiri dari empat posisi, yaitu Chief Executive Officer (CEO) yang dipegang Rizky Maulana Ishaq, Chief Operation Officer (COO) yang dipegang Ike Novitasari, Executive Secretary (ES) yang dipegang Azza Hanif Harisna, dan Chief Finance Officer (CFO) yang dipegang Lita Septiani. Keempat orang ini juga dikenal dengan sebutan Executive Boards (EB), bertanggung jawab selama periode 2013-2015.

Tak terasa, dua tahun berselang, tampuk kepemimpinan komunitas sudah harus berganti. Pada 1-2 Agustus 2015 juga terukir sejarah baru, diselenggarakannya Musyawarah Anggota Gamananta (RAGAM) untuk pertama kali.

RAGAM 2015 ini memiliki sejumlah agenda penting, di antaranya pemilihan dan penetapan Executive Boards untuk periode 2015-2017, serta penetapan dan pengesahan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT) Gamananta sebagai landasan dasar berorganisasi agar lebih terstruktur.

RAGAM 2015 kali ini bertempat di rumah salah seorang anggota Gamananta, Alfia Fauzia, di Mulyorejo, Malang.


Agenda hari pertama penuh dengan kegiatan di dalam ruangan. Dengan dua orang presidium, Fahri Affandi dan Ghazy Haidar, hari pertama ini diisi dengan pemaparan laporan pertanggungjawaban oleh EB periode sebelumnya, pembahasan dan penetapan PD/PRT komunitas, penjaringan dan penetapan kandidat EB baru, dan ditutup dengan workshop singkat mengenai travel writing. Dari sekian agenda di hari pertama, pembahasan PD/PRT mendapatkan atensi lebih dan alot karena berkaitan dengan pedoman dasar komunitas. Tujuannya tak lain memberikan kemudahan sistem dalam komunitas itu sendiri.

Bahkan pembahasan sempat ditunda karena masih belum mencapai kata sepakat, khususnya tentang komposisi Majelis Pengawas. Yang awalnya ditulis sebanyak tiga orang, dengan komposisi dua orang dari EB sebelumnya, dan sisanya merupakan slot untuk salah satu Commissioner. Lalu di hari kedua disepakati bahwa Majelis Pengawas hanya terdiri dari dua orang saja. Antara Commissioner dan EB sebelumnya masing-masing mendapat jatah satu orang.

Setelah melalui musyawarah yang cukup alot, akhirnya ditetapkan EB dan Majelis Pengawas (MP) Gamananta periode 2015-2017 sebagai berikut.

 Prosesi simbolis serah terima jabatan
antara CEO periode 2013-2015 kepada CEO periode 2015-2017

Majelis Pengawas
Rifqy Faiza Rahman
Rizky Maulana Ishaq

Executive Boards
CEO: Jauhar Syauqi
COO: Steven Rendra
ES: Anggraeni Ayu Saputri
CFO: Ghazy Haidar

Pada hari kedua, agenda RAGAM lebih santai. Yaitu jalan-jalan santai ke wisata Coban Glotak, Wagir, sekitar satu jam perjalanan dari lokasi RAGAM.

Kegiatan tersebut tidak hanya sekadar jalan-jalan biasa. Karena Rifqy, selaku pemateri workshop travel writing semalam menantang peserta untuk menuliskan perjalanan dan pengalaman saat trekking ke Coban Glotak. Peserta diminta menuliskan pengalamannya sepulang dari Coban Glotak secara singkat dalam waktu setengah jam. Rendra dan Kurniawan mendapatkan apresiasi dari panitia karena terpilih sebagai cerita terbaik di antara peserta RAGAM lainnya.

 Trekking santai ke Coban Glotak, Wagir

Hingga dua tahun ke depan, di bawah kepengurusan baru, Gamananta diharapkan berkembang lebih baik dari sebelumnya. Gamananta menantikan kiprah dan kontribusi dari anggota untuk memajukan komunitas tercinta ini.


 Artikel dan foto oleh:
Rifqy Faiza Rahman

Thursday, 16 April 2015

,
Nasi Goreng Kimcil (kanan) dan Black Burger Go-Song (kiri)

Tulisan oleh: Kurniawan Eko
Foto oleh: Rifqy Faiza Rahman

Hunting kuliner di Malang memang tidak ada matinya. Kalau dikumpulkan bisa dibuat tulisan yang mengecap lidah dalam bentuk buku. Pada hari Kamis, 26 Maret 2015 kami mendapatkan undangan dari Hotel Horison Ultima Malang untuk launching kuliner terbaru mereka. Namanya cukup unik: Nasi Goreng Kimcil & Black Burger Go-Song. Karena baru rilis, dan dengar dari teman kalau menu tersebut enak, jadilah kami budal icip-icip ke sana.

Pagi masih cukup hangat dan hembusan angin yang cukup sejuk mengantar kami menuju vertical lounge restaurant Hotel Horison Ultima Malang di lantai 2. Suasana masih sepi karena ternyata kami adalah undangan yang pertama datang. Di beberapa sudut terlihat beberapa karyawan dan chef masih mempersiapkan untuk kesempurnaan acara. Sedikit cerita, vertical lounge yang didapuk sebagai venue acara launching memiliki suasana perpaduan homy dan kitchen-centered design dengan pemandangan teduh taman dan kolam renang.

Setelah cukup lama menunggu, acara baru dimulai pada pukul11.45. Opening session dari Executive Chef dan F&B manager yang mengalamatkan dengan jelas kuliner yang bakal diluncurkan. Ngomong-ngomong, selama menunggu kami disuguhi signature drink Hotel Horison, jus sawi.  Kenapa jus sawi? Pak Imam Hanafi, F&B manager, menjelaskan tujuannya untuk memancing rasa lapar.  Bahan utamanya yang pasti sawi dan orange. Menurutnya, minuman ini merupakan welcome drink untuk semua tamu yang check-in di Hotel Horison. Dan pastinya setelah mencicipi jus sawi tersebut, well, it's most likely an enegizing appetizer. Strong smell and breeze in the mouth. Rasanya nendang!



Executive Chef Andiko memberikan sambutan

Sebelumnya dari teman yang kerja di tempat ini, infonya porsi Nasi Goreng Kimcil  untuk 5 orang dengan variasi 3 level pedas. Mantap! Kalau Black Burger Go-Song beratnya 1,5 kg berdiameter 20 cm dan porsinya untuk 4 orang. Puas juga sama kuliner baru ini, selain memang karena kelaparan.


Begitu makanannya datang, penampilannya menggoda sekali. Yang pertama dicicipi: Black Burger Go-Song. Karena ukurannya yang besar, perlu kehatian-hatian untuk memotongnya jadi empat bagian. Tapi jika ingin langsung dimakan utuh, silakan dicoba sendiri. Begitu masuk mulut terasa sekali lembutnya daging ham yang disiram black pepper sauce. Sekali gigitan terasa sekali bahan bercampur padu dengan baik makyus di lidah pokoknya. Sedikit berbeda dengan burger kebanyakan, ketika dimakan tidak menimbulkan rasa "lekat" di mulut dan tenggorokan. Black pepper sauce-nya pedas dan gurih dengan taburan keju parut. Rasa sausnya lebih mendominasi tetapi memang sangat klop dipadukan dengan isi bahan Black Burger Go-Song ini. Executive Chef, Chef Andiko, mengatakan warna hitam pada roti bukan berasal dari pewarna makanan siap saji atau sengaja dibuat gosong, tapi berasal dari tinta cumi. Tapi memang ide originalnya dari pengalaman roti yang kelamaan dipanggang terus gosong.



Imam Hanafi, F & B Manager Hotel Horison Ultima Malang
memotongkan burgernya untuk kami

Tak berselang lama, giliran saatnya mencoba menu selanjutnya. Jus sawi yang sebelumnya, memang ampuh banget memancing rasa lapar. Dalam wadah layah bata dengan kesan vintage, Nasi Goreng Kimcil cukup penuh dengan berbagai topping. Ada telur dadar suwar-suwir, tahu goreng, tempe goreng, selada, wortel dan tomat. Rasa telur dadarnya gurih, tidak seperti dalam kebanyakan nasi goreng di tempat lain. Tahu dan tempe gorengnya pun cukup pas disajikan sebagai pelengkap. Untuk nasi gorengnya sendiri mengangkat rasa nasi goreng rumahan namun berkelas dalam penyajiannya. Bumbu terasa mild di mulut dan greget pedasnya sudah dapet. Salute! Sekadar info, ide penamaan nasi goreng kimcil itu ingin mengubah paradigma negatif masyarakat tentang kata kimcil. Makanya dibuat nama masakan yang unik tapi ada kepanjangannya: Kreasi Indah Masakan Chef Internasional.

Secara keseluruhan, it's highly recommended to try. Kalau dilihat dari porsinya, dua menu andalan baru Hotel Horison ini menyasar segmen komunitas, kongkow & keluarga. Harga relatif terjangkau bagi semua kalangan. Melihat tempat dan rasa yang ditawarkan, harga cukup masuk akal.  


Informasi Menu:

Nasi Goreng Kimcil – Rp 85.000++
Satu porsi untuk 5 orang, free Es Teh 1 pitcher
Level pedas: 1-Hot; 2-Extra Hot; 3-Super Hot
Black Burger Go-Song – Rp 110.000++
Satu porsi untuk 4 orang, free Es Teh 1 pitcher
Dimensi: Berat 1,5 kg; Tinggi 15 cm; Diameter 20 cm
HOTEL HORISON ULTIMA MALANGGreen Boulevard No. 2, Araya, Kota Malang
Phone: +62 341 484 777
Fax: +62 341 480 339
Reservation: rsv.malang@horisonultimahotels.com
Website: ultima.horison-group.com/malang
Twitter: @HorisonMalang
Facebook: Horison Ultima Malang

Wednesday, 11 March 2015

,

 - PENGUMUMAN / ANNOUNCEMENT -

1. Kegiatan ARISAN akan dimulai pertama kali pada Minggu, 15 Maret 2015. Waktu dan tempat menyesuaikan gelaran kopi darat rutin.Ketentuan ARISAN adalah sebagai berikut:
a. Membayar Rp 10.000 per minggu;
b. Pengocokan (kopyokan) dilakukan tiap minggu;
c. Jika telat membayar, didenda Rp 5.000 per minggu;
d. Setiap peserta diperbolehkan mengikuti dua putaran (dua nomor);
e. Bagi peserta yang mendapatkan ARISAN, akan dipotong 10% untuk dimasukkan ke kas Gamananta;
f. Bagi yang belum dan ingin mengikuti arisan, silakan segera bergabung paling lambat Sabtu, 14 maret 2015 pukul 12.00 WIB dan konfirmasi ke koordinator ARISAN Ibu Anggraeni Ayu Saputri (0896 881 600 35).

2. Sehubungan dengan akan diselenggarakannya event HARLAH MI AL IHSAAN pada hari Sabtu, tanggal 28 Maret 2015, yang akan dimeriahkan dengan Lomba Mewarnai dan Lomba Fashion Show, panitia HARLAH MI AL IHSAAN mengajak teman-teman Gamananta untuk bersedia menjadi bagian tim juri pada lomba tersebut. Silakan konfirmasi ke Ibu Azza Hanif Harisna (0857 314 336 71). Mari dukung dan sukseskan HARLAH MI AL IHSAAN!

3. Sebagai agenda refreshing di tengah penatnya proyek dan kegiatan akademik maupun non akademik, Gamananta kembali menggelar #OpenTrip Pendakian Gunung Arjuno dan Gunung Welirang (opsional) via jalur Tretes-Pasuruan, pada tanggal 2 (malam) - 5 April 2015. Itinerary trip secara garis besar (rincian share cost menyusul) silakan klik link berikut: https://docs.google.com/file/d/0B_HhMnL-1b6bcTVXdWZQOVZ0QTA/edit . Bagi yang berminat dan untuk info lebih lanjut, silakan konfirmasi ke kontak terlampir dalam poster di atas. Kuota terbatas!

Sekian, terima kasih. Ji! Ro! Lu! BUDAL! :)

Wednesday, 25 February 2015

,
 Bintang malam di Ranu Kumbolo (Foto oleh: Rifqy Faiza Rahman

Bintang di Langit Ranu Kumbolo
Sekitar pukul 16.30, kami sudah tiba di Ranu Kumbolo. Suasana cukup ramai saat itu. Segera saja tenda-tenda didirikan dan merapikan perlengkapan masing-masing. Sebagian di antara kami ada yang memilih melanjutkan tidur, sisanya menyiapkan makan malam.

Beranjak gelap, angin mulai berembus menusuk tulang. Saya, bersama Rizky dan Ade masih memasak bersama. Tenda-tenda yang dihuni anggota tim pendakian yang lain senyap. Sepertinya mereka sudah terlelap. Maklum, sebagian besar dari mereka baru turun dari puncak. Sedangkan saya, masih segar karena memilih menemani Anggrek turun ke Kalimati.

Usai makan malam, saya sebenarnya ingin mengajak mereka keluar tenda melihat bintang. Ya, malam itu bintang bertaburan di langit Ranu Kumbolo. Sangat indah. Namun, melihat kondisi mereka yang sepertinya sangat lelah, saya memutuskan untuk memotret sendiri.


Bintang di atas Tanjakan Cinta (Foto oleh: Rifqy Faiza Rahman)

Saya berdiri di sebuah titik, di mana pandangan ke arah danau begitu lapang. Walau agak semarak karena banyak lalu lalang pendaki dan tenda yang berjejer rapat. Di balik saya, bintang tak kalah semaraknya di atas Tanjakan Cinta yang terlihat gulita. Tak terlihat pendaki yang baru turun dari Kalimati selarut ini. Yang jelas, suasana gemerlapnya bintang malam ini menyamai suasana kala pendakian bulan Oktober dan November 2012. Sayang, saat itu saya melewatkan momen merekam bintang karena keterbatasan kamera. Kali ini, kesempatan itu ada.

Puas dengan perburuan memotre bintang, saya kembali ke tenda. Terlihat Rizky dan Ade sudah begitu nyenyak dalam tidurnya. Saya segera berbaring, merapatkan posisi di antara mereka. Bukan tanpa alasan, supaya terasa hangat. Saya semakin meringkuk di dalam sleeping bag, menyusul mereka ke alam mimpi.

Keindahan Pagi Sebelum Pulang
Ketika suhu udara dirasa semakin menusuk, itu berarti sebentar lagi Subuh akan datang. Tapi, demi menyambut matahari terbit, kami rela bangun dari hangatnya sleeping bag. Sembari menggigil, kami menuju tepi danau untuk mengambil air wudu.


Sunrise Ranu Kumbolo (Foto oleh: Rifqy Faiza Rahman)

Usai salat Subuh, kami bergegas menyiapkan pose terbaik dengan latar belakang matahari terbit. Secangkir teh atau kopi hangat menemani kami menyambut pagi. Pagi itu langit Ranu Kumbolo seperti keemasan, dengan kabut-kabut tipis yang masih melayang di permukaan danau. Keindahan yang akan terlewatkan jika memilih meneruskan tidur hingga siang.

Puas menikmati kehangatan matahari terbit, kami mulai menyiapkan sarapan. Entah karena malas atau karena masih tersisa lelah sedari puncak kemarin, kami benar-benar betah di Ranu Kumbolo. Bahkan hingga selesai sarapan pun tak ada yang berkeinginan segera berkemas dan beranjak pulang. Benar-benar tak ingin meninggalkan Ranu Kumbolo secepatnya.




Bersantai sejenak setelah menyaksikan matahari terbit (Foto oleh: Rifqy Faiza Rahman)

Baru tepat jelang tengah hari, kami berkemas. Agak bermalas-malasan. Berat rasanya meskipun ini hari terakhir di Semeru dan harus turun ke Ranu Pani. Namun, kami memang harus pulang. Masih banyak kegiatan yang harus dilakukan setibanya kembali di peradaban.

Sekitar pukul 12.30, seusai foto bersama, kami mulai berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo yang airnya bergemericik tenang. Perjalanan pulang pun dilakoni dengan santai tak terburu-buru. Waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan diperlukan untuk tiba di Ranu Pani kembali.

Secara umum, pendakian berlangsung lancar. Sekalipun tidak seluruhnya berdiri di ppuncak Mahameru, tetapi yang terpenting adalah kami bisa pulang dengan selamat. Setelah tiga hari dua malam bergelut di tengah alam raya Semeru, kini kami kembali menjalani kehidupan masing-masing. (end)

,
Puncak Mahameru (Foto oleh: Ugo Nugroho)

(Cerita selanjutnya ditulis berdasarkan pengalaman dan dari sudut pandang Uki, salah seorang anggota tim pendakian Gamananta)

Summit Attack
Sebenarnya, makan malam sudah siap sedari pukul 21.00. Namun, karena sudah telanjur capek akibat tiba di Kalimati terlalu sore, rasa kantuk pun mengalahkan keinginan untuk makan. Hidangan yang semula hangat pun mendingin karena tak segera dimakan.

Tiba-tiba, saya tersentak kaget ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Berarti sudah sekitar dua jam kami tertidur. Langsung saja, saya segera membangunkan teman-teman dan bergegas menyantap makan malam. Kami makan di antara rasa kantuk dan rasa ingin segera berjalan ke puncak. Sebagian anggota tim sudah berkemas menyiapkan perlengkapan tempur untuk summit attack ke puncak Mahameru. Perlengkapan tempur tersebut terdiri dari jaket tebal, headlamp atau senter untuk penerangan, dan bekal konsumsi kelompok. Memang agak sedikit terlambat, tetapi masih ada waktu untuk segera berangkat.

Sejam kemudian, kami sudah siap. Sebelum berangkat, kami merapatkan barisan untuk berdoa bersama. Hening sejenak di tengah keriuhan Kalimati yang dipenuhi para pendaki yang akan ke puncak.

Ji! Ro! Lu! Budal! Jargon memekik memecah malam saat berangkat. Rombongan tim (kecuali Subhan yang terpaksa ditinggal di tenda karena kakinya sakit) dipimpin oleh Rizky sebagai leader dan Rifqy di belakang menjadi sweeper.

Trek ke puncak kali ini lewat jalur baru, persis di belakang shelter Kalimati. Karena jalur ke Arcopodo telah rusak akibat longsor. Perjalanan dimulai dengan trek berkerikil landai, namun memasuki hutan semakin menanjak. Ini baru benar-benar mendaki dan dapat dibilang nyaris tanpa bonus. Setelah sempat salah jalur karena terlalu mengekor rombongan pendaki yang mengular di depan kami, kami segera berbelok arah ke kiri. Memasuki kawasan hutan Arcopodo yang tanahnya penuh debu beterbangan.

Lebatnya hutan Arcopodo seakan mengisyaratkan kerindangan dan ketentraman kehidupan di sana. Langkah demi langkah terus tercipta. Bintang malam yang bersinar terang memberi arti tersendiri dalam menemani setiap hentakan jantung yang terus berpacu. Cucuran keringat seakan hilang tersapu dinginnya angin malam yang berembus kencang.

Langit malam mulai jelas terlihat, rindang pohon mulai menghilang. Area hutan telah tertinggal jauh di belakang. Kami sedang melewati Kelik, begitu banyak orang menyebutnya. Kelik merupakan perbatasan vegetasi dengan jalur berpasir dalam dan menanjak tanpa ampun. Mulai dari sini, kekuatan hati kami ditempa. Keyakinan tekad dan doa akan menjadi penentu di tengah keterbatasan fisik kami.

Beberapa langkah meninggalkan Kelik, rombongan mulai terpencar. Rifqy sudah jauh di belakang, mendampingi Anggrek yang susah payah berjalan ke puncak. Begitupun dengan Tanti, Dicky, dan Gunawan. Sementara saya dan yang lain sudah berjalan cukup jauh di depan.

Saya bersama Rendra sepakat untuk tetap berjalan bersama menuju Mahameru. Mereka berdua perlahan dengan pasti meniti langkah di atas pasir yang cukup dalam dan bebatuan labil. Langkah kaki pun semakin berat, sangat menguji tekad para pendaki. Tak sedikit pendaki yang akhirnya berhenti di tengah perjalanan, menyerah dan memilih tidak melanjutkan perjalanan ke puncak. Jalur ke puncak dinihari itu memang sangat ramai, penuh para pendaki yang akan ke puncak.

Waktu terus berlalu, saat itu sudah menunjukkan pukul 3 dinihari. Saya dan Rendra, ditambah Fandi beristirahat sebentar sambil menengok ke bawah. Deretan sorot lampu headlamp bak iring-iringan semut yang sedang mencari makanan. Makanan! Celaka, kami bertiga sudah tidak lagi membawa makanan. Beberapa camilan yang di bawa Rendra telah ludes. Rasa lapar yang melilit dapat mengalahkan kantuk yang mendera. Beruntung di tengah perjalanan kami bertemu Doni, salah seorang anggota tim pendakian yang membawa bekal kelompok. Syukurlah.

Rock! Kanan!

Berulang-ulang saya mendengar teriakan seperti itu. Yang menunjukkan adanya batu yang jatuh dari atas. Mulai dari yang sebesar genggaman hingga yang sebesar kepala. Benar benar dingin suhu di sini. Oksigen mulai menipis, udara kering menyelimuti. Keyakinan kami benar-benar diuji. Berulang kali terlintas dalam benak saya, “apakah aku sanggup melewati ini? sanggupkah aku berdiri di Mahameru? Haruskah jalanku berhenti di sini?”. Puncak memang telah terlihat, tetapi langkah yang terus merosot kian menyiutkan nyali.

Kantuk benar-benar tak tertahankan. Tanpa sadar ternyata sudah sekitar 10 menit saya terlelap. Pada posisi seperti ini sebenarnya tidak disarankan berlama-lama istirahat karena berisiko terkena hipotermia.

Siluet Rizky dan Fandy berlatar matahari terbit di Mahameru (Foto oleh: Fandy Alfizar)

Perlahan warna jingga keemasan mulai terlihat di ufuk timur. Sentuhan hangat mentari mulai terasa. Subhanallah, benar-benar indah sunrise dari lereng Mahameru ini. Sebenarnya ingin hati melihat momen ini tepat di puncak, tetapi sepertinya memang belum waktunya. Matahari yang mulai menerangi memberi semangat untuk terus melangkah.

Puncak Mahameru tinggal beberapa meter lagi. tetapi tingkat kemiringan yang semakin curam membuat kami menjadi cepat lelah dan lebih banyak istirahat. Seperti tak mungkin lagi kaki ini melangkah. Tetapi, tekad dan keinginan yang besar ampuh membuat kaki saya terus melaju dan perlahan saya berjalan sendiri meninggalkan Rendra dan Doni yang sedang beristirahat.

Pasir mulai memadat dan terdapat cerukan yang berada di sisi kanan dan kiri saya. Saya mendongakkan kepala dan melihat beberapa orang sedang duduk bersantai. Langkah demi langkah terasa semakin cepat, tanjakan pasir berubah menjadi hamparan luas yang membuat diri menjadi lepas dan ingin berteriak. Saya sudah sampai di Mahameru! Gejolak di dada tak tertahankan lagi, ingin rasanya meluapkan segala usaha yang akhirnya tak sia-sia. Teman-teman mulai menyusul, berdatangan ke puncak. Rizky adalah orang pertama dari tim kami yang berhasil tiba di puncak.

Pemandangan indah terhampar dari tempat kami berdiri. Mulai dari gugusan hutan dan bukit pegunungan Tengger, hingga garis pantai utara dan garis pantai selatan Jawa Timur terlihat. Sungguh sebuah sensasi tersendiri berada di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Hamparan luas dengan bendera merah putih yang tertancap merupakan gambaran yang tak mungkin terlupakan dari kenangan.

Dengan membawa plakat bertuliskan “Mahameru 3676 mdpl”, saya berfoto dan mengabadikan momen yang merupakan hasil perjuangan tersebut. Selain bendera dan plakat Mahameru, kawah jonggring saloka yang sesekali berdentum juga merupakan momen langka. Setiap asap beracun dari kawah tersebut keluar, para pendaki segera berfoto dengan latar belakang asap yang membumbung.

Sebagian anggota yang sudah tiba di puncak terlebih dahulu (Foto oleh: Fandy Alfizar)

Setelah puas berfoto, kami segera bersiap turun menuju Kalimati. Baru beberapa langkah meninggalkan Mahameru, saya bertemu Tanti dan Gunawan yang masih terlihat kelelahan dan belum menggapai puncak. Sehingga, Rizky memutuskan untuk menemani mereka, sementara saya dan yang lain kembali ke kalimati.

Sesampainya di tenda, saya bertemu dengan Anggrek dan Mas Rifqy yang ternyata turun duluan sebelum mencapai puncak. Rupanya Anggrek mengalami kelelahan sehingga memilih turun. Sambil menunggu yang lain, saya melepas sepatu yang dipenuhi pasir yang masuk dan mengganti baju yang penuh dengan debu.

 Foto bersama sebelum meninggalkan Kalimati
 
Ketika tepat jelang tengah hari anggota tim pendakian sudah lengkap, kami segera berkemas. Sekitar Pukul 14.00, setelah kami mulai meninggalkan Kalimati untuk turun menuju Ranu Kumbolo. Kami akan menginap semalam lagi di sana. Walau masih terasa ngantuk dan lelah, kami tidak ingin terlalu sore tiba di Ranu Kumbolo. Supaya ada waktu lebih untuk bersantai dan beristirahat memulihkan tenaga. Juga agar kami lebih menikmati suasana Ranu Kumbolo.

(Bersambung)
,

Setelah cukup berhasil menggelar pendakian bersama ke Gunung Semeru pada tahun 2013, kami kembali menyelenggarakannya pada tahun 2014. Tepatnya, tanggal 29-31 Mei 2014. Tak seperti pendakian tahun 2013, yang diikuti sebanyak 29 orang, kali ini peserta dibatasi maksimal 15 orang. Konfigurasi peserta terdiri dari 13 laki-laki dan sisanya perempuan. Saya bersama Rizky, Caca, dan Jeanni pergi ke Ranu Pani untuk memastikan sekaligus memesan kuota pendakian. Sayang, dua nama terakhir tersebut tidak ikut dalam pendakian.

Adapun peserta pendakian ke Gunung Semeru kali ini adalah sebagai berikut:

Rizky Maulana (Jombang)
Jauhar Syauqi (Kudus)
Rifqy Faiza Rahman (Pacitan)
Romadhoni Hidayatullah (Sidoarjo)
Ahmad Subhan (Mojokerto)
Gunawan (Mojokerto)
Dicky Pratama (Medan)
Fandy Alfizar (Surabaya)
Steven Rendra (Sidoarjo)
Ade (Lampung)
Anggraeni Ayu Saputri (Mojokerto)
Kustanti (Lamongan)
Latif Munawar (Solo)
Muhammad Isnain (Solo)
Nugroho (Solo)

Menuju Tumpang
Setelah rombongan asal Solo (Latif, Isnain, dan Nugroho) tiba di meeting point gazebo Universitas Brawijaya, pukul 23.00 kami berangkat ke Tumpang dengan sepeda motor.

Perjalanan santai, tidak terburu-buru. Karenanya kami sempat berteduh di sebuah masjid di Pakis ketika hujan sempat mengguyur. Yang unik, ketika memasuki Tumpang malah kering kerontang. Seolah-olah hujan jarang mampir di sana.

Saya yang berada di posisi paling depan, memandu tim ke arah Pasar Tumpang. Tepatnya ke tempat penitipan sepeda motor milik warga setempat. Atas instruksi Mbak Nur (pemilik basecamp pendaki Semeru di Pasar Tumpang), kami diarahkan untuk menitipkan motor di sana.

Sayang, saat itu Mbak Nur tidak berada di rumahnya. Sehingga, kami memilih untuk tidur di emperan kios Pasar Tumpang. Selain menghemat biaya menginap, toh yang penting kami bisa tidur memulihkan energi. Saya kadang-kadang terbangun ketika mendengar suara derap kaki pendaki yang baru pulang dari Semeru atau baru datang ke Tumpang. Bulan Mei ini memang lagi ramai pendakian. Maklum, baru dibuka sejak 5 Mei 2014.

Menuju Ranu Pani

Berdasarkan informasi dari Mbak Nur dan beberapa sopir angkot, saat itu truk, pikap maupun jip tidak diperkenankan berangkat dari Pasar Tumpang. Mereka wajib antri di rest area Gubug Klakah yang dijadikan sebagai terminal. Sehingga, dari Pasar Tumpang para pendaki wajib sewa angkot hijau trayek Pasar Tumpang-Gubug Klakah terlebih dahulu. Kecuali, bagi yang membawa kendaraan pribadi masih diperbolehkan langsung ke Ranu Pani.

Persis sebelum azan Subuh berkumandang, kami memutuskan menyewa dua angkot untuk mengantarkan kami ke Gubug Klakah. Setibanya di sana, sudah tersedia truk yang menunggu pendaki untuk diangkut ke Ranu Pani. Beruntung, kami berjumlah 15 orang. Pas sekali dengan kuota minimum dalam satu truk Sehingga, dalam satu truk berisi tim kami sendiri. Setelah salat Subuh di musala, kami segera naik truk dan berangkat ke Ranu Pani.

Sepanjang perjalanan, kami dibuat terkesima dengan hamparan pemandangan yang tersaji. Utamanya ketika mulai memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Hutan tropis dan ladang warga Tengger di lereng bukit memanjakan mata. Memasuki Ngadas, tampak Gunung Semeru menjulang gagah. Kami semakin antusias, tak sabar ingin segera mendaki.

Kami semakin tak bisa berkata-kata ketika melewati Jemplang. Persimpangan utama menuju Gunung Bromo dan Ranu Pani. Panorama bukit teletubbies dan lautan kabut melayang rendah membuat mata kami tak bisa berpaling. Sebelum akhirnya menghilang ketika kami mendekati gapura desa Ranu Pani, Senduro, Lumajang.

Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami tiba di Ranu Pani. Karena truk tidak boleh naik hingga pos perizinan, kami berjalan kaki ke sana.

Karena kami datang awal, pos perizinan pun masih tutup. Kami mengisi waktu dengan sarapan terlebih dahulu di sebuah warung. Persis keluar dari warung, saya melihat Pak Ningot (petugas), hendak berjalan menuju loket. Saya segera menghampiri dan mengkonfirmasi pemesanan kuota atas nama saya. Diberikannya dua lembar Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) untuk diisi lengkap sebelum diserahkan ke loket.

Tahapan administrasi dimulai dari menyerahkan formulir checklist perlengkapan pendakian dan akan diperiksa oleh volunteer dari Gimbal Alas. Setelah mendapatkan stempel tanda perlengkapan memenuhi persyaratan, kami kembali ke loket untuk antri pembayaran. Beruntung kami datang awal, sehingga antrian tidak terlalu panjang.

Tancap Gas Menuju Kalimati
Beres mengurus administrasi yang agak ruwet, kami pun memulai pendakian sekitar pukul 09.30. Karena program pendakian kami 3 hari 2 malam, maka target hari ini adalah langsung berjalan sampai Kalimati. Terasa jauh, memang. Namun harus dilakukan demi bersantai ria di Ranu Kumbolo sewaktu pulang.

Dengan semangat, kami berjalan meniti jalan setapak jalur Watu Rejeng.  Rizky dan sebagian pendaki laki-laki berjalan cukup jauh di depan. Sedangkan saya tetap setia sebagai sweeper. Memastikan kelengkapan rombongan tidak ada yang tercecer di belakang. Pos demi pos dilewati. Kadang-kadang kami berhenti seperlunya. Tepat 4 jam berjalan dari Ranu Pani, kami sudah sampai di Ranu Kumbolo.

Setelah istirahat secukupnya, kami melanjutkan perjalanan. Menapak Tanjakan Cinta yang cukup menguras tenaga. Ditambah matahari bersinar terik di atas ubun-ubun. Panas terik berlanjut kala melalui sabana Oro-oro Ombo hingga pintu hutan Cemoro Kandang.

Sabana Oro-oro Ombo (Foto: Rifqy Faiza Rahman)


Selepas pintu hutan, sebagian besar anggota tim laki-laki sepakat untuk berjalan lebih cepat. Tujuannya, agar tidak terlalu malam mengambil air di Sumber Mani. Mereka dipimpin oleh Rizky. Sementara saya, tetap sebagai sweeper. Berjalan bersama Gunawan, Anggrek, Kustanti, dan Dicky. Sesekali langkah kami disalip oleh rombongan pendaki yang dikawal oleh Pak Ningot. Laju sekali langkah mereka.

Napas lega menyelimuti ketika tanjakan Cemoro Kandang berakhir di Jambangan. Sebuah tempat di ketinggian 2.600 mdpl. Dari sini, Gunung Semeru jelas terlihat. Pohon-pohon berbunga edelweiss juga mulai terlihat meskipun jarang. Saya, Kustanti, Anggrek, Gunawan dan Dicky adalah yang terakhir tiba di Jambangan. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.30, kami segera menunaikan salat Asar. Setengah jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Kalimati.

Mendekati shelter Kalimati yang berketinggian 2.700 mdpl, langit mulai gelap. Beruntung, kami cepat menemukan rombongan kami yang sudah datang duluan. Ternyata, Rizky dan Rendra yang bertugas mengambil air belum kembali. Rupanya terjadi antrian panjang di Sumber Mani.

Menyadari bahwa pasokan air kami terbatas dan banyak botol kosong yang tak sempat dibawa Rizky dan Rendra, kami memutuskan membeli 5 botol air besar ke porter. Sebuah keputusan masuk akal mengingat efisiensi waktu daripada kembali lagi ke Sumber Mani.

Waktu berlalu begitu cepat. Saya menginstruksikan teman-teman yang lain untuk istirahat terlebih dahulu. Nanti akan dibangunkan saat makan malam tiba. Beberapa teman membantu menyiapkan masakan, seperti Rizky, Kustanti, Anggrek. Rasa kantuk berulang kali menyergap.

(Bersambung)

Saturday, 21 February 2015

,

Selain program sosial, program Heritage juga menjadi prioritas Gamananta di tahun 2015. Karena heritage memiliki makna yang sangat luas, Gamananta mempersempit fokus agar bisa dijalankan. Fokus heritage yang akan dikerjakan adalah mengenai kuliner khas dan bangunan bersejarah (cagar budaya) Malang.
,

Program sosial merupakan salah satu program prioritas komunitas Gamananta pada tahun 2015 ini. Yang menjadi fokus adalah bidang pendidikan. Belajar dari pengalaman pada pertengahan 2014 lalu, Gamananta sepakat untuk melanjutkan aksi di bidang pendidikan. Sasarannya masih tetap, yaitu para siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Ihsaan, Lawang, Kabupaten Malang.

Setelah tahun lalu pernah berkesempatan menggelar kelas motivasi dalam satu hari, dan menjadi bagian kepanitiaan dalam Hari Lahir (Harlah) Yayasan Al Ihsaan, Gamananta akan menambah beberapa kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
  1. Pelatihan vertikultur sederhana, dengan penanggung jawab saudara Fahriansyah N. Affandi. Gamananta ingin mengajarkan para siswa-siswi MI Al Ihsaan tentang cara berkebun sederhana, salah satu teknik yang cukup mudah yaitu vertikultur.
  2. Peringatan hari-hari nasional. Dalam sebagian perayaan hari nasional, Gamananta ingin memperingatinya bersama para siswa-siswi MI Al Ihsaan.
  3. Darmawisata Sejarah, dengan penanggung jawab saudari Anita Wijayanti. Gamananta berniat mengajak beberapa perwakilan dari para siswa-siswi MI Al Ihsaan untuk berdarmawisata sejarah. Tujuannya antara lain Candi Singhasari agar mereka dapat belajar sejarah kejayaan Malang di masa lampau.
  4. Menggalakkan kembali ekstrakulikuler, antara lain seperti tari maupun pramuka. Salah satu ekstrakulikuler akan digawangi oleh Ahmad Fakhruddin Busthomy.
  5. Kelas profesi dan konseling, dengan penanggung jawab Citra C. Aprilia. Dalam kegiatan kelas profesi, akan diadakan pelatihan singkat bagi para anggota sebelum menjadi pengajar siswa-siswi MI Al Ihsaan. Sedangkan kegiatan konseling ditujukan kepada para siswa-siswi kelas 6 agar mereka diharapkan untuk tetap semangat belajar menghadapi Ujian Nasional (Unas) dan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah.
Untuk keberlangsungan program sosial di bidang pendidikan ini, Gamananta tentu juga mengharapkan uluran angan dan tangan, hingga moral dan materi agar bisa berjalan lancar. Baik bagi anggota maupun non anggota yang memiliki kepedulian di dunia pendidikan anak, maka silakan segera menghubungi pengurus dan tim melalui komentar di bawah ini, atau kontak di media sosial yang dimiliki Gamananta (Facebook Group, Facebook Fan Page, Twitter). Kami tunggu kontribusinya! #AyoBudal!
,

Trip bertajuk “Jelajah Pesisir Pacitan” ini merupakan trip penutup di bulan Maret 2014, satu tahun lalu. Sebuah perjalanan mengunjungi kampung halaman salah seorang pendiri Gamananta, Rifqy Faiza Rahman. Trip ini juga merupakan prakarsanya. Adapun perjalanan yang berlangsung selama tanggal 28-31 Maret 2014 tersebut mengunjungi beberapa destinasi pantai indah di Pacitan, antara lain Pantai Soge di Jalan Lintas Selatan (JLS), Pantai Watu Karung, Pantai Srau, Pantai Banyu Tibo, Pantai Buyutan, dan Pantai Klayar.

Perjalanan dimulai pada tanggal 28 Maret 2014, di mana kami berkumpul di meeting point yang telah ditentukan, yaitu depan koperasi mahasiswa UB. Peserta kali ini berjumlah 15 orang, yaitu Rifqy (driver), Caca (driver), Rizky, Nufus, Anam, Mustofa, Muchlis (menyusul langsung ke Pacitan dari Cianjur), Fitrah (menyusul langsung ke Pacitan dari Sidoarjo), Siwi, Jeanni, Lita R., Anggrek, Uki, Fendi dan Yeni.

Sekitar pukul 21.30, kami dua mobil ini berangkat meninggalkan kampus. Rute awal yang dilalui adalah melalui kota Batu, Pujon, Ngantang, Kasembon, Kandangan, dan tembus ke jalan utama Jombang. Lalu lintas ternyata cukup padat, karena jelang tanggal merah. Sempat terjadi insiden kecil di daerah Perak, Jombang, ketika mobil yang disopiri Caca dituduh menabrak bagian belakang mobil Espass milik warga Surabaya. Saat itu memang sedang merayap melewati rel kereta api Perak. Padahal dari pandangan kami yang disopiri Rifqy, mobil Espass tersebut mundur sedikit karena sopir telat menginjak gas. Beruntung, insiden tersebut tidak berlanjut terlalu jauh dan kami sepakat untuk damai.

Lalu lintas yang cukup padat ini berlanjut hingga jalan raya Nganjuk. Memasuki Madiun, jalur relatif lancar dan sepi hingga melewati Ponorogo. Selepas Subuh, kami sudah memasuki Kabupaten Pacitan dan istirahat solat Subuh di sebuah masjid di depan kantor kecamatan Tegalombo, Pacitan. Dari sini, kota Pacitan masih sekitar 30 km lagi.

Sekitar 1,5 jam kemudian, kami tiba di kota Pacitan dan singgah sebentar di Pasar Minulyo, timur terminal Pacitan. Di sini kami belanja kebutuhan konsumsi untuk bekal camping di pantai. Dari Pasar Minulyo, kami kembali istirahat untuk sarapan di Arjowinangun.

Usai sarapan, kami kembali meluncur ke arah JLS, dan berhenti di Pantai Soge. Cukup lama kami berhenti di sini untuk sekadar istirahat dan berfoto ria, lalu melanjutkan perjalanan ke jembatan JLS, sekitar 1 km dari Pantai Soge. Dari JLS, kami putar balik ke arah kota dan meneruskan perjalanan ke Pantai Watu Karung, Kecamatan Pringkuku, sekitar 20 km dari pusat kota Pacitan.

Di atas tebing sisi barat Pantai Watu Karung

Kami tiba di Pantai Watu Karung sekitar pukul 2 siang. Saat itu Pantai Watu Karung relatif sepi, namun terlihat beberapa wisatawan asing yang sedang istirahat seusai berselancar di pantai. Pantai Watu Karung ini terkenal dengan ombaknya yang cocok untuk berselancar.Kontur pantai Watu Karung relatif landai dan pasir putih. Saat itu air laut sedang surut. Kami memilih berfoto di atas bukit sebelah barat dari pantai. Dari sini pemandangan sangat luas meskipun panas menyengat. Gugusan pulau karang di Watu Karung menyebabkan ombak tidak terlalu besar mendekati pesisir, sehingga kegiatan surfing dilakukan di sela-sela karang.

Puas di Pantai Watu Karung, kami kembali putar balik ke jalan awal dan menuju Pantai Srau. Di pertigaan menuju Pantai Srau, kami sementara berpisah. Mobil yang disopiri Caca menuju Pantai Srau terlebih dahulu untuk menentukan lokasi camp, sedangkan mobil yang disopiri Rifqy menuju ke Pasar Punung untuk menjemput Muchlis yang sudah tiba di sana. Dia menuju Pacitan dari Cianjur melalui Solo. Ketika sudah bertemu, kami kembali ke arah Pantai Srau dan menyusul mobil pertama.

Di Pantai Srau ini, kami menginap semalam dengan mendirikan dua buah tenda. Sebagian orang mempersiapkan makan malam dengan menu nasi, sayur sop, dan lauk tempe.

Malam itu, langit Pantai Srau sangat cerah dan penuh bintang. Rifqy dan Muchlis sempat mengabadikan jutaan bintang dalam kamera mereka.

* * *

Suasana pagi di Pantai Srau

Keesokan paginya, di hari ketiga tur, kami bergegas menyambut pagi dari atas karang. Lokasinya terletak di karang sisi barat pantai Srau 1. Di mana, di atasnya berdiri kerangka bangunan yang mangkrak. Kami mencari posisi untuk duduk dan bergaya.

Pagi itu sebenarnya mendung, namun ternyata matahari "mau" muncul dari peraduan. Di tengah-tengah asyik berfoto ria, Rifqy dan Uki menjemput Fitrah yang sudah tiba di terminal Bus Pacitan. Ia datang menyusul menggunakan bus langsung dari Surabaya.

Keceriaan saat memasak

Ketika semuanya sudah berkumpul lengkap, Ima selaku koordinator konsumsi mulai memberikan komando. Ia membagi tugas untuk menyiapkan menu sarapan. Rasanya tentu sangat mengasyikkan saat masak bersama dengan pemandangan lepas pantai dan angin khas pesisir. Semakin nikmat kala menu sarapan sudah siap disantap. Kami makan dengan penuh rasa kebersamaan.

Seusai sarapan, kami segera bersiap-siap. Mengemasi tenda dan perlengkapan pribadi lainnya. Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Banyu Tibo.

Saat perjalanan melintasi Goa Gong, jalan dipenuhi banyak kendaraan alias macet. Hal ini menyebabkan terjadinya antrean kendaraan yang mengular cukup panjang. Maklum, saat itu adalah akhir pekan. Banyak bus pariwisata yang datang demi berkunjung ke Goa Gong. Selepas Goa Gong, jalan kembali lengang.

Di pertigaan Pasar Kalak, kami belok kanan ke arah Widoro. Perjalanan ke Pantai Banyu Tibo ternyata tidak terlalu mudah, karena jalan sangat sempit (hanya muat satu mobil). Sehingga apabila berpapasan harus ada yang mengalah. Kami beruntung mendapatkan tempat parkir untuk dua mobil.

Foto bersama di depan aliran Banyu Tibo

Dinamakan Banyu Tibo karena terdapat aliran banyu (air) tawar yang tibo (jatuh/terjun) ke tepi pantai. Saat akhir pekan banyak pengunjung yang meramaikan pantai. Dan tentu berebut untuk mandi dan berbasah-basahan di bawah guyuran air terjun tersebut.  Banyu Tibo juga dikenal sebagai salah satu pantai yang bagus untuk produksi rumput laut.

Setelah puas berfoto ria, kami keluar dari kawasan Banyu Tibo. Menuju Pantai Buyutan yang tidak terlampau jauh dari Banyu Tibo, karena masih terletak dalam satu desa.

Harus puas berfoto dari atas pantai

Pantai Buyutan ini cukup unik. Karena untuk menuju ke tepi pantai, kita harus berjalan turun cukup curam dari tempat parkir. Sayang, karena keterbatasan waktu dan harus segera ke Pantai Klayar, kami hanya puas berfoto dari tempat parkir.

Hanya sebentar di Buyutan, kami segera meluncur ke pantai tujuan terakhir, yaitu Pantai Klayar. Ternyata di luar dugaan, juga terjadi antrean kendaraan pribadi menuju pantai. Kabarnya, tidak ada tempat parkir yang tersisa di Pantai Klayar saking ramainya. Kami hanya bisa memendam kekecewaan. Sempat terpikir untuk camp di Pantai Buyutan saja, namun diurungkan karena keterbatasan logistik.

Sayang sekali, Pantai Klayar yang menjadi destinasi terakhir dan diidam-idamkan sejak berangkat dari Malang, gagal dicapai. Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke kota Pacitan dan melewatkan malam di alun-alun kota. Kami pun pulang ke Malang keesokan paginya. Sebagian besar dari kami masih menyimpan harapan semoga di lain waktu dapat kembali lagi ke Pacitan dan bermalam di Pantai Klayar.

Foto dan tulisan oleh: Rifqy Faiza Rahman 
,

Sebagai pengobat kerinduan terhadap olahraga pendakian gunung, Gamananta mengadakan pendakian bersama ke Pegunungan Putri Tidur. Sebelumnya, Gamananta pertama kali mendaki ke sana pada 7-9 November 2013 yang digawangi oleh Busthomy, Rifqy dan Angky. Cerita perjalanannya bisa dibaca DI SINI.

Kunjungan kedua Gamananta ke alam Pegunungan Putri Tidur berlangsung pada tanggal 11-12 Januari 2014. Durasi yang cukup singkat mengharuskan tim memulai pendakian sejak pagi pada hari pertama. Adapun anggota tim pendakian terdiri dari Rifqy, Mas Kurniawan, Rizky, Mustofa, Figur, Zaki, Anggrek, Lia, Zahro dan Numa.

11 Januari 2014
Hari pertama perjalanan, dimulai dengan belanja bahan konsumsi dan sebagian logistik di Pasar Karangploso. Semalam tim menumpang tidur di rumah anggota Gamananta, Uki, untuk mengumpulkan tenaga dan mengemas perlengkapan.

Setelah mendapatkan bahan konsumsi yang diinginkan, tim melajukan motor dengan kencang menuju basecamp Panderman di Toyomarto, Pesanggrahan, Batu. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih sekitar 1 jam. Kami sempat mampir di sebuah warung untuk membeli nasi bungkus sebagai bekal sarapan yang dimakan di tengah perjalanan.

 Foto bersama sebelum memulai pendakian

Sekitar pukul 07.30, usai urusan administrasi beres, kami mulai berjalan. Menyusuri jalan yang sama ke arah Panderman, sebelum berbelok arah kanan di pertigaan terakhir yang mana ke kiri menuju Panderman. Sekitar 1,5 jam berjalan, kami berhenti di sebuah tanah datar yang teduh. Kami membuka bekal nasi bungkus untuk dimakan bersama. Tujuannya sebagai isi ulang energi sebelum melanjutkan perjalanan ke Sendang yang masih jauh.

 Pemandangan yang tersaji di awal pendakian

Trek selepas tempat kami istirahat untuk sarapan menanjak cukup panjang. Cukup menguras tenaga sebelum akhirnya kami masuk hutan yang relatif lebat dan alami. Trek di dalam hutan cenderung datar dan panjang.

 Tetap ceria di tengah istirahat

Awan mendung yang bergelayut semenjak memasuki hutan pun akhirnya menurunkan hujan ketika kami keluar hutan.

Trek kembali menanjak ketika memasuki areal Cemoro Kandang.Kami tetap berjalan dan agak ngebut agar tidak kedinginan. Agar sesampainya di Sendang, kami segera mendirikan tenda dan menghangatkan diri.

Akhirnya, setelah sekitar 9 jam berjalan dari basecamp, kami pun tiba di Sendang. Sebuah tempat perkemahan yang melimpah sumber air di tengah-tengah sabana hijau nan luas. Dari sini, puncak sudah terlihat dan hanya berjarak tak sampai sejam perjalanan. Puncak Siti Ingghil yang akan kami gapai esok pagi.

Agenda selanjutnya jelas, mendirikan tenda dan menyiapkan menu makan malam. Di Sendang, kami tidak sendirian. Ada juga rombongan pendaki dari kampus UIN Malang yang naik dari jalur Gadingkulon, Dau, Malang.

Ketika malam tiba, angin berembus semakin dingin. Memaksa kami mempercepat makan dan istirahat. Memulihkann tenaga setelah diguyur hujan selama perjalanan. Sebagian anggota tim, termasuk saya yang berada di tenda cowok memilih bermain kartu sejenak sebelum terlelap.

12 Januari 2014
Sekitar pukul 04.30, saya terbangun dan mulai membangunkan teman-teman untuk bersiap. Bersiap salat Subuh dan bergegas ke puncak. Karena ketika keluar tenda, cahaya matahari sudah mulai muncul.

Perjalanan ke puncak tidaklah lama. Hanya memakan waktu sekitar 30-45 menit berjalan normal tapi stabil tanpa banyak berhenti. Dengan trek yang sangat menanjak dan lumayan bikin lutut linu. Namun kelelahan yang dirasa terbayar lunas ketika kami tiba di puncak Siti Ingghil, puncak tertinggi Pegunungan Putri Tidur dengan angka 2.868 mdpl.

 Matahari terbit dari balik Pegunungan Tengger

Selain kami, juga terdapat pendaki yang naik dari Sirahkencong, Blitar. Kami menjadi saksi di mana matahari terbit dengan indah dari balik Pegunungan Tengger. Sesekali asap mengepul dari kawah Jonggring Saloka di puncak Mahameru.

Ditambah lagi pemandangan Gunung Arjuno dan Welirang yang disatukan dengan Gunung Kembar I dan II. Dan pesona pegunungan kawasan Ngantang, serta Gunung Kelud yang diselimuti kabut tipis.

 Mengibarkan bendera merah putih di puncak


Dengan pemandangan spektakuler demikian, tak heran jika di anatra kami seperti tak ingin kehilangan momen dengan banyak berfoto. Di semua sudut, tak ada yang tak indah. Kami sangat puas setelah menyambut pagi dari puncak.

Puas di puncak, kami segera turun dan kembali ke tenda. Menyiapkan sarapan sederhana dan berkemas. Sekitar pukul 11.00, kami mulai meninggalkan kawasan Sendang.

 Foto bersama sebelum perjalanan pulang

Ritme perjalanan kami lebih cepat dibandingkan saat berangkat. Tujuannya agar tidak terlalu sore setibanya di basecamp kembali. Meskipun hujan sempat mengguyur, tak menyurutkan kami berjalan cepat. Bahkan ketika sempat berjalan di atas genangan air semata kaki di dalam hutan sekalipun.

Hasilnya, setelah hampir 6 jam berjalan, kami tiba di basecamp lagi. Tanpa banyak membuang waktu, kami segera mengambil motor dan memilih salat Asar di masjid setempat. Langit sudah gelap ketika kami tiba di kos masing-masing, setelah sempat mampir makan malam bersama di sebuah rumah makan. Sebagai pelampiasan setelah terkuras fisik dan mental di tengah hutan Pegunungan Putri Tidur.

Foto dan tulisan oleh: Rifqy Faiza Rahman

Monday, 12 January 2015

,

Oleh: David D. L.
Foto: David D. L.

Prolog

Keinginan ini muncul tiba-tiba dalam perjalanan menuju Jakarta dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sepulang dari pendakian Gunung Rinjani pada 20 Agustus 2013. Entah mengapa ada rasa penasaran mendalam untuk mendaki Gunung Kerinci. Padahal rasa lelah belum hilang. Semua karena statusnya sebagai berikut. Yaitu, dengan ketinggian puncaknya sekitar 3.805 meter dari permukaan laut (mdpl), menjadikannya sebagai gunung berapi tertinggi di Indonesia. Di atas Gunung Rinjani (3.726 mdpl) dan Gunung Semeru (3.676 mdpl).

Setelah sukses mendaki Gunung Semeru (yang didaki pada 26 – 30 Juni 2013) dan gunung Rinjani, saya memutuskan untuk wajib mendaki Kerinci pada akhir bulan Desember 2013. Sebab, saat itu adalah waktu libur panjang selama dua minggu, bagi saya yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMA swasta di Jakarta. Saya mengajak dua orang bergabung, yaitu Muhammad Ridwan Barchowie (biasa dipanggil Ayie atau Nchek), yang berusia 20 tahun. Merupakan teman di komunitas Seruntul Pencinta Alam. Satu lagi Muhammad Nu'man DL (14 tahun), yang merupakan anak kandung saya.

Sebuah keputusan ekstrim. Mengapa? Pertama, kami bertiga belum pernah ada yang ke Gunung Kerinci. Sehingga info yang kami dapatkan hanya berasal dari internet. Juga dari diskusi kecil via internet dengan pendaki yang sudah pernah ke sana. Kedua, Nu'man, anak saya belum pernah sama sekali mendaki gunung dan punya penyakit asma yang kadang-kadang suka kambuh. Karena asma sangat sensitif dengan suhu dingin dan kelelahan yang sangat.

 Saat latihan fisik ke Gunung Gede 2.958 mdpl

Namun, saya lega karena saat mengajaknya mendaki Gunung Gede pada 15 Oktober 2013, Nu'man berhasil mencapai puncak. Seakan melengkapi hasil jerih payahnya saat melahap latihan fisik yang saya berikan di rumah.

Menuju Kersik Tuo dan Losmen Paiman
Hari Sabtu, tanggal 28 Desember pukul 12.00 WIB, kami bertiga berangkat dari Terminal Bus Rawamangun. Menggunakan bus Family Raya Ceria (FRC) jurusan Jakarta – Padang. Harga tiket per orang adalah Rp 360.000. Kami menggunakan bus karena di samping harga murah, juga untuk menikmati perjalanan darat. Melihat kota-kota di Sumatera yang kami lalui. Kebetulan baru kali ini kami ke Sumatera.

Normalnya hanya ditempuh dua hari, tetapi dalam perjalanan di kota Baturaja bus yang kami tumpangi mogok gara-gara mesin bermasalah. Terpaksa selama satu hari menunggu kedatangan spare part dan perbaikan mesin, karena spare part-nya berada di kota Jambi.

Akhirnya, pada hari Senin, 30 Desember, kami tiba di desa Kersik Tuo, Jambi. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, disambut dinginnya udara kaki Gunung Kerinci yang menusuk tulang. Padahal sudah pakai jaket tebal. Begitupun Nu'man dan Ayie merasakan hal yang sama. Saat itu saya berpikir, sekarang saja dinginnya begitu menusuk apalagi di puncak. Ya Allah, mudahkanlah hamba dan tim tiba di puncak dan turun dengan selamat. Begitu doa yang selalu saya ucapkan.

Losmen Paiman


Kami memilih losmen Paiman sesuai rekomendasi dari internet. Kata mereka, selain murah dan bersih, juga makanannya yang enak. Setelah dua kali bertanya pada penduduk setempat, akhirnya kami tiba di losmen  dengan lelah menyengat. Maklum, sudah duduk terus selama tiga hari perjalanan darat.

Saya berfoto dengan latar belakang Gunung Kerinci

Kami disambut ramah oleh ibu pemilik losmen. Si Ibu ternyata adalah anak dari Bapak Paiman selaku pemilik losmen yang sudah meninggal. Kebetulan masih ada satu kamar kosong yang bisa ditempati tiga orang. Alhamdulillah. Ibu mengatakan kami beruntung. Sebab, kamar tersebut sebenarnya sudah di-booking tapi tidak jadi.

Di akhir bulan Desember, losmen Paiman selalu penuh oleh para pendaki. Baik ke puncak Kerinci maupun ke Danau Gunung Tujuh untuk melihat keindahan alamnya. Semuanya untuk merayakan pergantian tahun.

Kami dikenai biaya sewa, termasuk makan dua kali sehari sebesar Rp 30.000 per orang. Kami tak banyak cakap dengan si Ibu, sebab mata dan tubuh sangat lelah. Setelah mandi dan solat, akhirnya kami bertiga tidur nyenyak.

Menunda Pendakian
Harusnya, hari ini, tanggal 31 Desember, mulai pukul 06.00 kami langsung melakukan pendakian Tetapi, urung dilakukan karena masih kelelahan. Mengapa pendakian harus dimulai pada pukul 6 pagi? Sesuai info, pendakian lebih baik dilakukan pukul 6 pagi, karena dibutuhkan waktu sekitar delapan jam mencapai Shelter 2. Sebuah tempat lapangan terbuka, di mana tenda bisa didirikan sebelum summit attack. Shelter 2 mampu menampung kurang lebih 6 tenda dome kapasitas 4 orang.

Mendirikan tenda sebelum Shelter 2 tidak direkomendasikan, karena masih banyak harimau Sumatera berkeliaran. Kebanyakan para pendaki membuka tenda di Shelter 3, sebuah lapangan terbuka yang lebih luas dari Shelter 2. Mampu menampung lebih dari 30 tenda. Dari Shelter 2 ke Shelter 3 butuh waktu sekitar dua jam. Shelter 3 ini adalah shelter aman terakhir dan lebih dekat ke puncak yang hanya butuh waktu tiga jam. Jadi, rencana merayakan pergantian tahun di gunung pun batal.

Pagi ini, setelah Subuh saya memilih untuk jalan-jalan pagi di kebun teh, yang konon terbesar kedua di dunia itu. Dan melihat keindahan Gunung Kerinci dari jauh.

Kebun teh yang terhampar di seberang pemukiman

Setelah olahraga pagi, saya sempat ngobrol dengan Ibu pemilik losmen. Ternyata Ibu ini keturunan Jawa. Dia bercerita bahwa penduduk Desa Kayu Aro mayoritas keturunan Jawa. Generasi kedua dari hasil migrasi penduduk Jawa ke Jambi pada zaman penjajahan Belanda. Jadi, jangan heran jika bahasa Jawa mendominasi percakapan sehari-hari masyarakat desa Kayu Aro.

 Gunung Kerinci diselimuti kabut

Tak terasa kami ngobrol sampai azan Duhur berkumandang. Saya pamit kembali ke kamar untuk repacking, susun rencana dan istirahat. Tujuannya agar fisik kembali pulih untuk melakukan perjalanan sesungguhnya, menggapai puncak Kerinci nan eksotis. Malam tahun baru pun kami rayakan dalam mimpi.

Perjalanan Sesungguhnya Dimulai
Rabu, 1 Januari 2014. Pada pukul 06.00, dengan menggunakan jasa ojek milik menantu si Ibu, kami bertiga diantar menuju kantor Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk registrasi pendakian.

Sekadar info, dalam pendakian ini kami tidak memakai guide atau porter lokal. Selain menghemat uang, saya memilih mengandalkan insting Ayie saja sebagai seorang pendaki berpengalaman. Walaupun, dia juga belum pernah merasakan aroma Gunung Kerinci. Yang kedua tentu saja Doa kepada Allah SWT, Tuhan penguasa Kerinci.

Kami bertiga di Simpang Tugu Macan

Kami berangkat dengan bismillah, semoga Engkau , ya Allah, sukseskanlah perjalanan ini, mulai pergi dari Jakarta – Desa Kersik Tuo – Puncak Kerinci dan balik lagi ke Jakarta tanpa kekurangan suatu apapun. Amin. Inilah doa yang selalu saya panjatkan dalam salat lima waktu, tahajjud dan duha sebelum berangkat ke Jambi. Siapa yang tidak tahu Kerinci, gunung berapi aktif tertinggi dan paling angker nomor lima di Indonesia. Angker dengan harimaunya maupun dengan badainya yang tidak bisa ditebak. Apalagi, Ibu mengatakan sudah dua hari ini Kerinci diamuk badai kabut.

Pintu Rimba - Pos 3
Setelah satu jam berlalu dari losmen dan mengurus registrasi di TNKS, akhirnya kami tiba di pintu awal pendakian pada pukul 07.00. Pintu ini dikenal dengan nama pintu Rimba.

Sedikit info, tempat istirahat utama di Gunung Kerinci ada dua nama: Pos dan Shelter. Pos hanya digunakan untuk istirahat sementara dan ada bangunannya. Sedangkan fungsi shelter adalah untuk mendirikan tenda dan tidak ada bangunannya.

Di Gunung Kerinci ada tiga pos (Pos 1, 2 dan 3) serta tiga shelter (Shelter 1, 2 dan 3). Urutannya adalah Pintu Rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3, Tugu Yudha dan Puncak Kerinci.

 Bersiap memulai pendakian

Pos 1

Pos 2

Dari Pintu Rimba ke Pos 1, dari Pos 1 ke Pos 2, dari Pos 2 ke Pos 3 rata-rata kami tempuh satu jam. Jadi, lama perjalanan dari Pintu Rimba ke Pos 3 adalah empat jam. Kami tiba di Pos 3 sekitar pukul 11.00 WIB.

 Foto bersama pendaki lain di Pos 3

Di Pos 3, kami bertemu para pendaki campuran, gabungan pendaki lintas Jawa-Sumatera yang bertemu via internet. Saya heran mereka bisa ngecamp di sini, padahal infonya banyak harimau Sumatera masih berkeliaran. Mereka juga bilang agak takut, tetapi dipaksakan. Karena, sedang menunggu teman yang akan menyusul dari Jakarta. Mereka sudah dua malam ngecamp dan tidak terjadi apa-apa. Apakah harimau Sumatera hanya mitos? Ah sudahlah, mungkin Allah sedang melindungi mereka.

Pos 3 - Shelter 1 - Camp
Perjalanan dari Pos 3 ke Shelter 1 paling menguras tenaga. Butuh sekitar 4,5 jam untuk tiba di sana. Treknya sudah mulai curam, kemiringan mendekati 60 derajat, licin, berlumpur, dan sampai memanjat akar. Ditambah lagi hujan turun, menunda perjalanan sekitar 20 menit.

Kami tiba di Shelter 1 pada pukul 15.00. Di sini kami bertemu banyak pendaki yang turun setelah summit. Mereka bilang cuaca di atas ekstrim, terutama kabutnya. Lagi-lagi ada pendaki yang sudah ngecamp dua malam di Shelter 1, namun tidak terjadi apa-apa. Tapi, kami tetap waspada dan tidak boleh sombong.

 Bersama seorang pendaki di Shelter 1

Menurut informasi, perjalanan ke Shelter 2 butuh waktu sekitar 3 jam. Karena kami bertiga merasa masih kuat, akhirnya diputuskan melanjutkan perjalanan. Walaupun, nanti kami akan menghadapi malam. Terabas terus! Semangat!

Tapi, niat tinggal niat. Semangat menurun setelah melihat jalur yang dilalui. Membuat fisik makin terkuras.

Jalurnya yang sempit seperti perjalanan menuju Shelter 1, ditambah hujan seolah menjadi satu paket. Kami bertiga sudah lebih dari tiga kali jatuh terjengkang karena licin dan dalamnya lumpur. Untung saja kami masih belum tergigit pacet. Ayie menjerit, karena dia membawa carrier paling berat berukuran 120 liter.

"Jalurnya lebih berat dari gunung Salak," katanya. Dalam hati saya tertawa, mengapa dari awal tidak mau menggunakan porter. Akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp di satu tempat, entah apa namanya. Tempat ini hanya muat untuk satu tenda dome berkapasitas empat orang. Kami tiba pada pukul 17.00 saat itu.

"Camp Darurat"

Tempat ini sempat bikin was-was akan gangguan harimau Sumatera, karena di belakang adalah semak-semak. Tapi ,karena kelelahan yang sangat, akhirnya kekhawatiran itu sedikit demi sedikit terabaikan. Setelah bersih-bersih, makan, dan salat, kami tidur dengan lelap. Sebelumnya, saya memohon kepada Allah semoga tenda ini dijauhi sang raja hutan.

Hari Kamis, tanggal 2 Januari 2014. seharian tidak ada aktivitas pendakian. Kami fokus istirahat untuk memulihkan stamina yang terkuras akibat perjalanan kemarin. Hanya Ayie dan Nu'man yang mencari sumber air, karena persediaan sudah menipis. Setelah pulang, mereka mengatakan sumber air tadah hujan ada di Shelter 2, tapi sumber air melimpah ada di Shelter 3.

Di hari ketiga pendakian, kami hanya Ishoma (Istirahat, salat dan makan) dengan Ayie sebagai kokinya. Lumayan enak juga masakannya.

Summit Attack
Hari Jumat, 3 Januari 2014. Pada pukul 06.00 WIB, kami memulai misi ke puncak. Berbekal daypack berisi makanan ringan, air minum, raincoat, dan ditambah doa kepada Allah, kami berangkat menuju puncak Kerinci.


Memulai Summit Attack

Trek sempit yang harus dilalui menuju Shelter III

Dalam perjalanan ke puncak, hanya ada kami bertiga. Sementara para pendaki lain sudah turun. Timbul kekhawatiran, bagaimana bila nyasar? Tapi saya berusaha yakin, jika Allah bersama kami.

 Shelter III yang terbuka

Kami tiba di Shelter 3 pukul 10.00. Berarti sudah empat jam perjalanan dari tempat camp. Di tempat ini kami bertemu sepasang pendaki kakak beradik yang sudah empat malam berturut-turut di Shelter 3 dan empat kali summit. Salut!

 Puncak tak jauh lagi

Setelah melewati Tugu Yudha dan berjalan selama 3,5 jam dari Shelter 3, akhirnya kami bertiga tiba di Puncak Kerinci. Perjuangan keras kami terbayar sudah.

Saya dan Nu'man di puncak Kerinci 3.805 mdpl

Walaupun tidak melihat sunrise, tapi hati kami puas. Puas karena berhasil menginjakkan kaki di gunung berapi tertinggi di Indonesia. Puas karena kami mendaki tanpa porter. Puas karena selama perjalanan dari Shelter 3 ke puncak, Allah berikan awan sebagai payung dari sengatan matahari. Puas karena badai kabut yang dikhawatirkan tidak terjadi. Puas karena selama pendakian kesehatan selalui menyertai kami. Puas karena kami tidak lupa untuk salat selama perjalanan, walaupun dengan duduk (kontur tanah tidak memungkinkan untuk berdiri). Puas karena anak saya, Nu'man, berhasil mengatasi asma dan pusingnya akibat kelelahan, dingin dan ketinggian. Puas karena tidak bertemu sang raja hutan, harimau Sumatera. Puas karena dari Shelter 3 ke puncak dan sebaliknya, kami tidak tersesat. Padahal banyak jalur-jalur sesat menuju jurang.

 Nu'man dan Ayie (kanan) di puncak Kerinci

Kurang lebih sekitar satu jam kami berada di puncak untuk menikmati keindahan ciptaan-Nya. Setelah berfoto secukupnya, pukul 15.00 kami turun menuju tenda. Kami tiba sekitar pukul 20.00 dan disambut hujan deras. Alhamdulillah.

Turun Gunung
Sabtu, 4 Januari 2014. Raut kepuasan dan ceria menyelimuti wajah kami bertiga di pagi yang cerah. Terbawa bahkan pada saat repacking sebelum kembali ke basecamp.

Tepat pada pukul 07.30, kami mulai bergerak turun. Perjalanan naik dan turun hampir tidak ada bedanya, sama-sama berat. Selama turun, hujan selalu setia menyertai kami. Apakah ini pertanda Gunung Kerinci sedih kami tinggalkan? Entahlah, yang jelas kami sedikit sengsara karena licinnya jalur dan kubangan lumpur yang dalam. Belum lagi pacet sebesar jempol kaki mulai banyak bermunculan. Semakin menambah dramatis batin yang tadinya sempat ceria.

Inilah hasil "bergulat" dengan alam Gunung Kerinci

Setelah berjalan selama tujuh jam, kami bertiga berhasil mencapai pintu Rimba pada pukul 15.00. Selanjutnya, dengan menggunakan jasa ojek petani ladang, kami menuju kantor TNKS untuk melapor selesainya pendakian. Akhirnya kami tiba kembali di Losmen Paiman pukul 14.00.

Pulang ke Jakarta
Kami menginap satu hari lagi di losmen Paiman untuk memulihkan fisik dan belanja suvenir. Sebenarnya hari Minggu ini, 5 Januari, kami berencana ke Danau Gunung Tujuh. Sebuah danau eksotik yang berada di ketinggian di atas 2000 mdpl. Danau ini terletak di sebelah gunung Kerinci dan berjarak satu desa. Kata orang, Danau Gunung Tujuh ibarat penyedapnya, sedangkan Gunung Kerinci diibaratkan sayuran lodeh. Saling melengkapi. Namun, mengingat kondisi fisik dan keterbatasan waktu, akhirnya dibatalkan.

Lima hari sudah kami berada di sini, sebuah pengalaman mengesankan. Keramahan pemilik dan penghuni losmen, makanan Jawa, kopi khas Kayu Aro, memandang kebun teh terbesar di Indonesia, cuaca dingin khas pegunungan, pemandangan gunung Kerinci, pendakian tanpa porter, cuaca bersahabat di puncak Kerinci, dan kekompakan kami bertiga, membuat hati betah berlama-lama di sini. Tetapi, karena tugas kantor telah menanti, dan mulai masuk kerja, keinginan berlama-lama itu harus dipendam sementara waktu. Kami berharap suatu hari nanti bisa kembali ke sini. Tak lain untuk menikmati pesona Danau Gunung Tujuh dan menggapai puncak Kerinci untuk yang kedua kali. Semoga.

(Cerita dan foto perjalanan dibuat oleh Bapak David D. L. selaku anggota komunitas Gamananta. Atas persetujuan beliau, tulisan ini selanjutnya dimuat dalam blog ini dengan diedit seperlunya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai transportasi, biaya perjalanan dan semacamnya, dapat menghubungi di akun Facebook David Dl)

Follow Us @soratemplates